SultraOne.Com, Opini– Pagi hari saat membuka media sosial, ramai tentang pemberitaan Reuni 212. Pada dasarnya, saya sedikit tertarik untuk menuliskan beberapa pendapat saya mengenai aksi tersebut. Reuni 212 telah usai digelar di kawasan Monumen Nasional (Monas), Senin (02/12/2019).
Kelompok 212 awalnya muncul pada akhir 2016. Tujuan awalnya adalah melawan Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap menistakan agama. Salah satu pentolan kelompok ini adalah Rizieq Shihab, yang kini ada di Arab Saudi dan tak pulang-pulang.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan Reuni 212 telah kehilangan relevansi alasannya karena pilpres sudah usai dan Jokowi dan Prabowo sudah islah (berdamai).
Pun Ahok akhirnya terbukti bersalah dan divonis penjara dua tahun lantas tidak semerta-merta kelompok ini bubar begitu saja, bahkan saat Pilpres 2019 membuat riwayat kelompok ini semakin panjang yang pada hakikatnya sebagai oposisi pemerintah menjadi identik tersendiri bagi kelompok 212.
Hari ini kemudian reuni 212 kembali digelar meskipun sebenarnya konteks dan panggung politik praktis kelompok ini telah hilang dengan atau tanpa disadari.
Lantas, bagaimana dengan dampaknya terhadap sikap Intoleransi di Indonesia sehubungan dengan aksi 212? Meningkat atau justru sebaliknya Indonesia makin “Harmonis” dengan aksi ini?
Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Wahid Institute pada dalam rentan waktu Tahun 2010 hingga 2019. Dalam survei ini terbagi dalam dua kategori. Pertama, Persentase Responden Muslim yang Keberatan Jika Non-Muslim Menduduki Jabatan Politik (Presiden, Wapres, Gubernur, Bupati/Walikota) atau Intoleransi Politik dengan item pertanyaan “Keberatan atau Tidak”. Hasilnya, pada tahun 2016 orang yang menjawab keberatan berada dikisaran 39 % untuk jabatan Bupati/Walikota, 40 % Gubernur, 41 % untuk Wakil Presiden dan 48 % untuk Presiden.
Persentase ini kemudian terus naik hingga ditahun 2019 diangka 52 % – 59 % untuk masing-masing jabatan politik. Padahal, sebelum 212 persentase keberatan hanya berada diangka 10-20 %.
Sedangkan untuk kategori kedua dalam survei ini yakni Persentase Responden Muslim yang Keberatan jika Non-Muslim Menggelar Acara Keagamaan atau Membangun Tempat Ibadah sebanyak 64 % responden menjawab Keberatan jika Orang Non-Muslim Mengadakan Acara Keagamaan di Daerah Sekitar dan 52 % Keberatan Orang Non-Muslim Membangun Rumah Ibadah. Grafik persentase ini terus mengalami penurunan sampai pada Tahun 2017 berkisar 36-48 % untuk masing-masing indikator. Namun, persentase ini kembali naik tahun 2018 dengan angka 38 % untuk Membangun Rumah Ibadah dan 52 % untuk Acara Keagamaan.
Kemudian Tahun 2019, Indikator Acara Keagamaan mengalami kenaikan sebesar 53 % dan persentase Keberatan Membangun Rumah Ibadah mengalami penurunan sebanyak 2 % dari Tahun 2018 menjadi 36 %.
Pada akhirnya, secara ilmiah aksi 212 memiliki dampak terhadap peningkatan Intoleransi di Indonesia yang kemudian tidak bisa semerta-merta tidak bisa dibantah dengan argumentasi kosong tanpa pendalaman melalui penelitian akademis.
Melihat data tersebut saya menjadi bertanya-tanya, apakah seiring meningkatnya persentase Intoleransi di Indonesia akan berefek domino terhadap Radikalisme dan Terorisme yang lebih akut lagi? Saya kira Itulah yang harus dijawab dan diatasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dimasa mendatang yang juga merupakan Tantangan berat bagi Pemerintahan ini.
Oleh : Arman Tosepu, Pemerhati Sosial Ekonomi dan Politik.
Komentar