SultraOne.Com, Konawe – Proses Sidang lanjutan PT. Naga Bara Perkasa kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Unaaha. Jaksa menghadirkan dua saksi ahli kehutanan pada. Selasa, 11 Agustus 2020.
Dalam persidangan yang digelar, dua saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut bahwa perusahaan PT Naga Bara Perkasa (NBP) melakukan penambangan di Kawasan Hutan Produksi tanpa mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI.
Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Unaaha Febrian Ali, SH, MH. Selaku hakim ketua. Kemudian ketujuh tersangka terlihat mengikuti persidangan secara online dan real time (seketika) dari jarak jauh melalui teknologi video conference dengan menggunakan Laptop dan koneksi jaringan, sehingga memungkinkan masing-masing untuk saling melihat dan berbicara sebagaimana dalam persidangan secara offline.
Diketahui, PT NBP diduga melakukan penambangan secara ilegal dikawasan hutan lindung blok matarape, Desa Molore, Kecamatan Langgikima Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Saksi pertama yang dihadirkan oleh JPU yakni Mandalin dari kantor Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XXIl Sultra, kemudian saksi kedua adalah Suhardin dari Dinas Kehutanan Provinsi Sultra ahli di bidang penggunaan kawasan hutan.
Dihadapan majelis hakim serta video conference yang diikuti oleh tujuh terdakwa di Rumah Tahana (Rutan) Kelas llB Unaaha, salah satu saksi Mandalin mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, pembagian hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Lanjutnya, hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Payung hukum yang mengatur Hutan konservasi adalah Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Kemudian Hutan lindung ialah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah,” jelas Mandalin
Mandalin juga menjelaskan, hutan Produksi, yakni kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversikan (HPK).
“Kalau di kawasan hutan lindung hanya dia lakukan penambangan terbuka, dan ini bisa menyebabkan kerusakan pada permukaan tanah seperti penambangan ore nikel. Nah ini tidak dibolehkan menambang di Kawasan Hutan Lindung tanpa IPPKH dari Kementerian Kehutanan RI,” ungkapnya.
Sementara itu saksi ahli kedua Suhardin, menuturkan saat ia mlakukan survei Potensi Kawasan Hutan di Kecamatan Langgikima, sebelum adanya perkara PT NBP. Namun saat berada di lokasi Suhardin melihat ada bekas-bekas penambangan.
“Ada hutan yang terbuka dan pepohonan tidak ada. Tetapi tidak ada aktivitas penambangan, hanya ada bekas tambang,” pungkasnya.
Dari ketujuh orang yang berhasil di tangkap dan ditetapkan sebagai tersangka salah satunya adalah Direktur Utama PT NBP Tuta Nafisa. Sedangkan enam lainnya yakni Edi tuta (53), Ilham (20), Arinudin alias Pele (44), kemudian Muh Alfat (22), Rahman (21) dan Sultra (35). Keenam merupakan operator alat berat excavator di PT NBP.
Dalam perkara ini, enam tersangka yakni operator alat berat Excavator didampingi oleh Kuasa Hukum, Nasrudin SH. Sementara Direktur PT NBP Tuta Hafisa didampingi oleh Kuasa Hukum H. Abdul Razak Naba.
Di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Penyidik Kepolisian Polres Konut berhasil menyita barang bukti berupa empat unit excavator dan 300 ton ore nikel / biji nikel yang telah diolah.
Atas perbuatannya, ketujuh tersangka tersebut dikenakan pasal 89 ayat (1) huruf a dan b ayat (2) huruf a dan b dan uu RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 20 miliar.
Kemudian Pasal 158 Jo pasal 37 dan pasal 40 ayat (3) dan pasal 48 UU RI Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana dan pasal 56 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara dan dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Laporan : Redaksi
Komentar